Waya Masapi (Judul Sementara)
A Way of Life (Working Title)

Inisiator Proyek
Sutradara
Mohammad Ifdhal

Mohammad Ifdhal membuat film sejak 2017 melalui program lokakarya produksi film pendek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Film pendek pertamanya yang berjudul Tunalogi terpilih sebagai film pendek terbaik pada ajang Festival Film EPSILON, Yogyakarta; sedangkan Home Sweet Home—film pendek keduanya—menerima penghargaan Film Pendek Terbaik di Festival Film Antikorupsi. Lewat partisipasi dalam Film Market Akatara 2018, proyek film pendek selanjutnya—Kabar dari Amal—menjadi penerima program bantuan dana produksi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Film tersebut diputar perdana pada ajang Bakunawa Young Cinema Festival di Filipina. Pada 2019-2022, ia menjadi produser kampanye dampak untuk proyek dokumenter Hidup Dengan Bencana.
Produser
Liauw Suryani

Terlibat dalam kegiatan perfilman Indonesia sejak 2004, terutama sebagai produser dan manajer program. Ia pernah tergabung dalam Jakarta International Film Festival, ECCO Films Indonesia, Europe on Screen Film Festival, dan In-Docs. Pada 2017–2018, ia menjadi manajer kineforum, program pemutaran film alternatif dari Komite Film—Dewan Kesenian Jakarta. Selain pernah terlibat dalam produksi film panjang, ia juga terlibat dalam berbagai produksi film pendek—fiksi maupun dokumenter, dengan pembuat film Indonesia maupun internasional. Di antaranya, Payung Merah (2010), Dino (2013) dan Stories of Recovery: 10 Years after Tsunami (2014). Saat ini, ia berkonsentrasi mengembangkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam produksi dan distribusi film.
Logline
Waya Masapi adalah sebuah dokumenter pendek mengenai ketahanan dan rasa tanggung jawab masyarakat Tentena (Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah) dalam merawat kekayaan budaya dan tradisinya. Film ini akan mengikuti keseharian Fredrik Kalengke—pemilik pusaka budaya terakhir yang sedang bertahan di tengah dampak pengerukan Danau Poso.
Sinopsis
Film Waya Masapi adalah sebuah dokumenter pendek yang menggunakan pendekatan observasional. Film ini menawarkan para penonton berkunjung dan menjadi tamu sejenak di Tentena—sebuah kota kecil di pinggiran Danau Poso, Sulawesi Tengah. Selama kunjungan ini, penonton diajak melihat ketulusan masyarakat Tentena dalam merawat tradisi/budaya suku Pamona dalam kesehariannya.
Obyek tradisi/budaya yang akan dominan disorot dalam film adalah waya masapi—sebuah bangunan pagar bambu yang ditancapkan ke lantai danau untuk memerangkap sidat (belut berkuping). Bangunan serta praktik penggunaan waya masapi adalah warisan budaya suku Pamona yang nyaris punah akibat pengerukan di Danau Poso. Dari puluhan waya masapi yang masih beroperasi sampai dengan tahun 2019, saat ini (September 2023) hanya tersisa satu saja—milik keluarga Fredrik Kalengke. Untuk itu Fredrik dan keluarga dipilih sebagai ‘kendaraan’ utama untuk mengantar penonton film menyelami kehidupan masyarakat Tentena.
Kegiatan dan percakapan yang terjadi di atas waya, akan memberikan gambaran mengenai fungsi sosial dan ekonomis waya, dampak pengerukan, dan memori berharga. Lewat interaksi antaranggota masyarakat—termasuk keluarga Fredrik, penonton bisa ikut menguping pembicaraan dan penyikapan mereka terhadap polemik yang terjadi antara masyarakat dan pihak perusahaan PLTA yang melakukan pengerukan dan revitalisasi infrastruktur di sekitar Danau Poso, penyesalan mereka yang telah terbujuk menjual waya masapinya, tanggapan mereka terhadap kengototan keluarga Fredrik untuk mempertahankan wayanya, kenangan dan nilai obyek tradisi lain di Tentena yang sudah lenyap, serta penggalian gagasan untuk merawat tradisi di tengah perubahan dan pembangunan. Selain itu, lewat kegiatan festival rakyat, yang biasanya juga dikunjungi pendatang dari luar Tentena, penonton juga bisa melihat dan mendengar respon mereka terhadap kebudayaan lokal.
Di penghujung film, penonton bisa melihat bahwa masih bisa ada semangat kebersamaan dan optimisme yang terbangun di tengah ketidakpastian. Hal tersebut bisa dilihat lewat kegiatannya di sawah—sebagai alternatif dalam mencukupi kebutuhan biaya ujian akhir putranya; juga lewat kegiatan memperbaiki waya yang bukan hanya dilakukan oleh Fredrik dan keluarganya, tapi juga dengan bantuan masyarakat sekitarnya.
Pada akhirnya, pengalaman melalui perjalanan bersama lewat film ini ditujukan untuk membawa kita semua ke sebentuk gagasan atas nilai tradisi/budaya dan perlunya menjaga kelangsungan nilai tersebut di tengah arus perubahan zaman.