The Extra Years
Original Title
Topic
Origin
Production House
Project Initiator
Lidwina Audrey
Frederica Nancy
Project Status
Logline
Setelah sang ayah terancam demensia, adik kakak yang telah lama tidak akur karena konflik toko kaset kini berusaha hadir membuat kenangan baru. Mereka coba mengunjungi beberapa kenangan lama bersama sang ayah sebelum ia benar-benar menghilang
SYNOPSIS
Herman, nama asli Joeng Soen Thoeng, adalah seorang ayah, kakek, dan kekasih. Sekarang, ia baru saja berulang tahun ke-87 dan hubungan bersama kekasihnya sudah berjalan selama 15 tahun. Kerabat-kerabat menganggapnya pria tua yang beruntung, cucu-cucunya sering menggodanya, dan anak-anaknya terlepas dari tanggung jawab menjaganya setiap hari. Herman dikenal sebagai salah satu pemilik toko musik legendaris di Sarinah. Namun, bisnis keluarga itu bangkrut ketika modernisasi terus menggerus. Gerai bernama Musik Plus itu tutup pada 2020 dan saat itu pula, anak-anaknya bersumpah untuk berhenti bicara satu sama lain. Selamanya.
Saat Herman didiagnosis menderita demensia, timbul kekhawatiran mendalam di antara anak-anaknya. Mereka menyaksikan diri ayah yang mereka kenal perlahan menghilang. Dengan cara yang canggung dan kikuk, anak-anaknya berusaha menciptakan kenangan bersama Herman dalam sisa waktu yang ada, keluar dari kesibukan mereka sebagai orang dewasa paruh baya untuk menemani Herman menikmati “saat ini”. Merayakan momen-momen bersama saat mereka benar-benar hadir saat itu dan belajar menemukan keindahan dalam hal sehari-hari yang sederhana. Sesekali, mereka masing-masing membereskan gudang berisi sisa peninggalan toko, memungut kenangan dan membicarakannya, hingga perlahan membenahi apa yang mereka tinggalkan berantakan sejak tahun 2020.
Director's Statement
Pada tahun 2022, saya terbangun dari tidur dalam kondisi demam keringat dingin dan takut mati. Saat itu, saya sedang sibuk-sibuknya bekerja dan menyelesaikan skripsi, hari-hari selalu berlalu dengan begitu cepat. Pagi itu saya demam tinggi dan tiba-tiba ketakutan akan mortalitas timbul ke permukaan tanpa aba-aba. Sejak hari itu, saya ke sana ke mari membawa pertanyaan tentang kematian. Buku ke buku, manusia ke manusia. Perjalanan itu membawa saya berlabuh pada pemahaman ketidakkekalan yang dipaparkan dalam ajaran Buddha. Pemahaman ini mengajarkan saya untuk tidak menolak sifat alami dari semua hal di dunia, yaitu tidak kekal. Namun, dengan tidak kekalnya semua hal, kita bisa belajar untuk lebih hadir dan sadar pada setiap saatnya.
Keluarga tidak pernah menjadi tempat saya mencari jawaban, terutama tentang kehidupan. Namun, ternyata saya menemukan jawaban dalam kakek saya, ayah saya, dan paman saya. Bagi saya pribadi, keluarga merupakan tempat penuh konflik dan selalu saya hindari sedari kecil. Mereka pastinya bukan orang-orang yang saya cari untuk menemukan jawaban mengenai kematian.
Pada 2024, saya menyaksikan kakek saya mulai lupa terhadap dirinya sendiri. Di sana saya sadar bagaimana memang setiap hal di dunia ini tidak kekal, termasuk diri kita sendiri. Diri ini adalah sesuatu yang selalu berubah. Bagaimana kakek saya melihat dirinya saat ini, berbeda dengan bagaimana ia memaknai dirinya 15 tahun lalu. Kakek saya tidak ingat kesuksesan atau kebangkrutan bisnis keluarga yang masih menghantui anak-anaknya. Saya melihat bagaimana kakek saya benar-benar menikmati secangkir kopi. Saya melihat bagaimana kakek mengamati perubahan pada pohon mangga depan rumahnya. Saya melihat kakek saya hadir dari hari ke hari, tanpa ketakutan akan apa yang lalu dan akan datang, termasuk kematian. Di usianya yang ke-87, ia bahkan sudah lupa terhadap cita-cita rumah pensiun dengan kebun luas yang ia ceritakan pada saya 5 tahun lalu.
Seperti keluarga keturunan Tionghoa pada umumnya, kakek saya mewariskan bisnis pada kedua anak laki-lakinya, ayah dan paman saya. Saat bisnis bangkrut, mereka bertengkar hebat. Tentunya anak perempuan kakek saya tidak terlibat pertengkaran, karena ia tidak mewarisi toko tersebut. Keluarga saya berjarak begitu lebar dan pertemuan kecil sering memercikan pertengkaran besar. Tapi sejak kakek didiagnosis demensia, saya sering melihat ayah dan paman saya mencoba meluangkan waktu bersama kakek, dengan cara mereka yang kikuk. Mencoba membangun kenangan dengan aktivitas-aktivitas sederhana seperti pergi ke kedai kopi baru atau jalan pagi di sela-sela pertokoan Jakarta Utara. Sebelumnya, mereka hanya sibuk mengejar ambisi dan mencari validasi diri masing-masing.