Dragons Disappearance

Original Title

Naga-Naga Telah Menghilang

Topic

Nature and Environment, Social and Economy

Origin

Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Production House

Studio Murup X Neighbourhood

Project Initiator

Afif Fahmi

Director

Bahri Sayf

Producer

Project Status

Research & Development
I'm interested with this project

Logline

Warga Gunungkidul bertahan dan terus beradaptasi di tengah bencana kekeringan karena sumber air di beberapa telaga menghilang bersamaan dengan mitos perginya para naga penjaga kesuburan.

 

SYNOPSIS

Bagi masyarakat di Gunungkidul, termasuk orang-orang di sekitar telaga Saga, air adalah sumber kehidupan. Terbentuk ikatan batin yang kuat antara warga dengan sebuah telaga. Dahulu, telaga-telaga dengan sumber airnya yang melimpah terbentuk alami di antara pegunungan Gunungkidul yang masih rimbun dengan pepohonan. Hubungan masyarakat di sekitar telaga Saga menciptakan ragam budaya, di mana hampir semua ritual atau upacara adat dan kegiatan masyarakat berpusat di sana. Pada akhirnya, telaga menjadi sumbu atau pusat kehidupan sehari-hari masyarakat. Muncul kepercayaan bahwa telaga Saga dijaga oleh sosok naga penjaga kesuburan dan simbol pemberi keberkahan. Ada yang menyebutnya Naga Antobogo, ada juga yang menyebutnya Nyai Blorong.

 

Mbah Marno (76) adalah saksi hidup sejarah telaga Saga. Suatu hari, ketika berada di sekitar telaga, beliau melihat sepasang naga yang bergerak beriringan menuju dasar telaga kemudian menghilang. Mbah Marno langsung merekam peristiwa itu dengan menggambar 2 ekor naga di rumahnya. Semenjak itu, tidak ada masyarakat yang melihat sosok naga lagi. Kejadian tersebut juga menjadi titik di mana telaga yang awalnya berisi air melimpah, menjadi telaga yang kering kerontang hingga saat ini.

Director's Statement

Saat mendatangi beberapa desa di Gunungkidul, saya selalu menjumpai keberadaan sebuah telaga. Telaga adalah salah satu sumber air utama di wilayah Gunungkidul. Selama ratusan tahun, telaga mengiringi kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan air. Telaga menjadi pusat interaksi sosial warga, dan kemudian lahir adat istiadat atau budaya masyarakat yang terkait langsung dengan keberadaan air di telaga. Namun, bersamaan dengan alih fungsi dan rusaknya lingkungan kawasan pendukung telaga karena berkurangnya vegetasi tanaman yang berfungsi sebagai konservasi, menyebabkan air telaga banyak yang mulai mengering saat musim kemarau.

 

Saya menyadari modernitas seringkali membawa cara pandang baru bahwa alam adalah objek mati dan pasif, sehingga terkadang menempatkan manusia sebagai makhluk yang terpisah dengan alam. Perspektif ini kemudian menghasilkan segala gerak eksploitatif dan perusakan terhadap alam hingga hari ini. Pada sisi logika, jelas bahwa dengan pembangunan modern yang sering tidak mempertimbangkan kearifan lokal, sangat berpotensi merubah iklim mikro dan makro suatu tempat, termasuk struktur dan sistem alami yang ratusan tahun terbentuk dengan pola hubungan antar elemen. yang telah mapan dan dinamis. Terlepas dari sistem alami telaga yang telah berubah, saya rasa apa yang telah disaksikan oleh Mbah Marno 21 tahun yang lalu, tentu ada benang merahnya. Mengeringnya telaga Saga dan ratusan telaga yang lain sangat mungkin dikarenakan “penunggu” atau “simbol” yang mengayomi dan melindungi air telah pergi.

 

Dalam perspektif mitologis, Naga Antaboga sering dianggap sebagai sosok yang menjaga keseimbangan alam, termasuk ketersediaan air. Legenda hilangnya para naga bisa dilihat sebagai representasi dari gangguan terhadap ekosistem, yang dalam konteks modern dapat diinterpretasikan sebagai dampak dari perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Ketika sumber air berkurang, ini mencerminkan tidak hanya gejala fisik tetapi juga spiritual atau mitologis. Setelah mengenal Mbah Marno, saya banyak mendapat pengetahuan bagaimana mitologi sering kali mencerminkan pemahaman mendalam tentang ekologi, mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam melalui cerita-cerita tentang dewa, roh, atau makhluk-makhluk penjaga lingkungan yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem.

 

Film ini menjadi refleksi bagi kita sebagai manusia melihat alam sudah sangat tidak baik-baik saja. Membicarakan bagaimana air yang merupakan bagian dari alam perlahan pergi dari kehidupan warga Gunungkidul. Lewat cerita mbah Warno, yang sudah 76 tahun hidup berdampingan dengan telaga dengan segala kondisi alamnya. Pengalaman Mbah Marno melihat sosok naga penjaga pascarevitalisasi telaga memberi pangeling bawah hal-hal di luar nalar yang terjadi dalam relasi manusia dan alam adalah bentuk komunikasi; sekaligus gambaran bagaimana dunia terus berubah dan menghasilkan berbagai masalah krisis iklim, bencana kekeringan, dan hilangnya sumber air yang terus menghantui masyarakat Gunungkidul hingga saat ini.

Participant
Afif Fahmi

Afif Fahmi merupakan lulusan Film & TV Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang telah menyutradarai beberapa film pendek fiksi dan dokumenter. Dalam membuat film, dia banyak mengangkat tentang hubungan manusia dan alam. Filmnya Sampun Jawah (2018) berkompetisi di Sjón International Anthropological Film Festival (Denmark) 2018 dan menjadi nominasi Best College Film di Strasburg Film Festival (USA) 2019. Film Human vs Elephant (2021) memenangkan Gaia Award di Bozcaada International Festival of Ecological Documentary 2021. Terbaru, Laut Masih Memakan Daratan (2023) ditayangkan pertama di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2023 dan mendapat penghargaan Jury Award NonDocumentary di Changing Climate Changing Lives Film Festival (Thailand).

Participant
Bahri Sayf

Bahri Sayf adalah seorang pembuat film yang kompeten dalam pembuatan film dokumenter sejak tahun 2016. Ia merupakan lulusan ISI Yogyakarta jurusan Film dan Televisi. Tahun 2024, Bahri sedang berkonsistensi pada ranah divisi produser dalam pembuatan film dokumenter. Pada tahun-tahun sebelumnya, ia bekerja sebagai produser pascaproduksi, sutradara film dokumenter, animator, dan juru program festival film. Saat ini, bersama 3 rekannya, Bahri sedang membangun studio bernama Neighbourhood yang berfokus pada pembuatan film dan art video baik komersil maupun pengkaryaan.

Dragons Disappearance

Warga Gunungkidul bertahan dan terus beradaptasi di tengah bencana kekeringan karena sumber air di beberapa telaga menghilang bersamaan dengan mitos perginya para naga penjaga kesuburan.

 

SYNOPSIS

Bagi masyarakat di Gunungkidul, termasuk orang-orang di sekitar telaga Saga, air adalah sumber kehidupan. Terbentuk ikatan batin yang kuat antara warga dengan sebuah telaga. Dahulu, telaga-telaga dengan sumber airnya yang melimpah terbentuk alami di antara pegunungan Gunungkidul yang masih rimbun dengan pepohonan. Hubungan masyarakat di sekitar telaga Saga menciptakan ragam budaya, di mana hampir semua ritual atau upacara adat dan kegiatan masyarakat berpusat di sana. Pada akhirnya, telaga menjadi sumbu atau pusat kehidupan sehari-hari masyarakat. Muncul kepercayaan bahwa telaga Saga dijaga oleh sosok naga penjaga kesuburan dan simbol pemberi keberkahan. Ada yang menyebutnya Naga Antobogo, ada juga yang menyebutnya Nyai Blorong.

 

Mbah Marno (76) adalah saksi hidup sejarah telaga Saga. Suatu hari, ketika berada di sekitar telaga, beliau melihat sepasang naga yang bergerak beriringan menuju dasar telaga kemudian menghilang. Mbah Marno langsung merekam peristiwa itu dengan menggambar 2 ekor naga di rumahnya. Semenjak itu, tidak ada masyarakat yang melihat sosok naga lagi. Kejadian tersebut juga menjadi titik di mana telaga yang awalnya berisi air melimpah, menjadi telaga yang kering kerontang hingga saat ini.