Fo Ran, Stone, and the Three Acts of Ghosts from the Past

Original Title

Fo Ran, Batu, dan Tiga Babak Hantu dari Masa Lalu

Topic

Human Rights, Human Relation

Origin

Belu, East Nusa Tenggara

Production House

Studio Barisan

Project Initiator

Suvi Wahyudianto

Director

Engel Seran

Director

Ivonne Kani

Producer

Project Status

Research & Development
I'm interested with this project

Logline

Engel adalah seseorang yang mencari jawaban atas pertanyaan dari tiga babak masa lalunya: kehilangan, perpisahan, dan keterasingan, di mana semua itu dimulai dari persebaran rumpun suku Tetun, kerajaan Fehalaran, referendum 1999: Indonesia – Timor Leste, serta hilangnya seorang kakek pada tahun 1965. Melalui Fo Ran, batu-batu, dan Kidung Ibu, Engel mencari jawaban atas pertanyaan dari masa lalu.

 

SYNOPSIS

Engel adalah pemuda berdarah Tetun yang melakukan penelusuran terhadap tiga peristiwa dan waktu dari masa lalu yang menghantuinya selama ini. Babak pertama dimulai dengan kisah tentang perang dan perpisahan yang menyebabkan tersebarnya rumpun suku Tetun dari kerajaan Fehalaran. Sejarah tentang pertarungan, penaklukan, dan perpindahan yang terjadi semenjak Indonesia belum bersatu.

 

Babak kedua adalah peristiwa referendum 1999 yang membelah rumpun suku Tetun menjadi berada di dua negara: Indonesia dan Timor Leste. Dahulu, suku Tetun berdoa pada satu upacara di satu bukit yang sama yaitu Foho Matebian. Namun, kini mereka terpisah dan berdoa melalui angin.

 

Babak ketiga datang dari peristiwa saat Engel menerima kenyataan tentang kakeknya yang menghilang pasca-meletusnya tragedi nasional pembantaian simpatisan atau yang tertuduh simpatisan komunisme 1965. Kubur dan jasadnya tak pernah ditemukan. Namun, 20 tahun kemudian ibunya memberikan isyarat padanya, bahwa sang kakek berada pada tanah yang datar, tanpa nisan dan nama.

 

Engel melakukan perjalanan bersama Fo Ran, makhluk pendamping yang ia yakini sebagai leluhur yang menuntunnya mencari jawaban dari atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini. perjalanan ini membelah sepanjang Belu sampai ke Timor Leste. Engel akan membawa tiga batu sepanjang perjalanan, kemudian meletakkannya sebagai penanda.

 

“Aku membangun monumen pada tiga batu atas lanskap hantu-hantu masa lalu dan menunggu jawaban atas janji-janji masa lalu dan masa depan.” Batu batu tak bernama dan hanya titik koordinat sebagai pengenalnya, ia melayang-layang melintasi zaman dan potret masa kecil yang memudar.

Director's Statement

Kami percaya cara bekerja karya seni. Dengan kesadaran penuh, kami membedakan bagaimana karya seni sebagai seni politik dan politik seni. Keduanya mempunyai maksud dan tujuan yang sama, kami memilih dan menempuh politik seni sebagai kendaraan kami mencapai tujuan proyek seni ini. Politik seni adalah bagaimana cara kerja seni yang memiliki kepekaan afeksi dan metafora mampu menyampaikan pesan dengan menyentuh perasaan. Dua frasa yang akan kami pegang adalah resistensi kesadaran dan powerful estetik sebagai jalan kami.

 

Secara personal, pertemuan pertama kami–Suvi dan Engel–adalah saat kami tergabung dalam jejaring pertukaran seniman residensi Rimpang Nusantara. Pada satu malam, kami saling membicarakan karya yang telah kami buat. Ada satu pertanyaan Engel yang masih saya ingat, yaitu bagaimana mengkontekstualisasikan gagasan sejarah yang pahit dalam bentuk karya seni?

 

Saya menjawab, dengan kejujuran dan mencari perasaan yang murni, walau itu menyakitkan. Perbincangan kami sampai pada konteks sejarah di mana kami berasal. Saya seniman yang berasal dari Madura yang juga pernah memiliki sejarah kelam atas konflik etnis 1999 di Kalimantan Barat serta sejarah personal tentang kehilangan. Lantas, Engel bercerita tentang peristiwa hilangnya sang kakek pada tahun 1965 dan Referendum 1999. Dalam hal ini, kami dipertautkan dalam sejarah kehilangan kami masing-masing melalui konteks sejarah etnis dan personal.

 

Ada satu hal yang kami ingat, bahwa kakek kami ternyata memiliki sumpah kepada anak-cucunya. Kakek saya bersumpah agar anak cucunya sampai tujuh turunan untuk tidak ada yang menjadi tentara atau polisi. Sedangkan kakek Engel bersumpah kepada anak cucunya untuk tidak menjadi seorang pejabat elit pemerintahan. Kesamaan ini membuat kami yakin dan bersepakat untuk saling membantu dan berkolaborasi terutama dalam proses penciptaan karya.

 

Pada akhirnya, mampukah karya seni atau film menjawab persoalan? Jawabannya, kami akan mengantarkannya pada tujuan, berharap akan sampai atau tidak pernah sampai. Namun, dalam perjalanan kami terus belajar dan menemukan kebaikan yang diperjuangkan.

Participant
Suvi Wahyudianto

Suvi Wahyudianto adalah perupa asal Bangkalan, Madura. Melalui elaborasi pendekatan autoetnografi ke dalam karya seni, fokus Suvi adalah menciptakan karya-karya yang berusaha mengungkap narasi baru sebagai tandingan dari narasi-narasi arus utama, serta mendorong gagasan rekonsiliasi dan meningkatkan kesadaran empati di situasi pasca-konflik.

Participant
Engel Seran

Klemens Engelbertus Seran (Engel) lahir dan tinggal di Atambua. Sejak 2019, bersama Komunitas JEF ia mendirikan sebuah museum budaya di Kab. Belu NTT. Selain berkegiatan dengan komunitas, Engel juga mengerjakan karya pribadi yaitu riset tentang suku Kemak Sadi dan memproduksi film pendek yang merupakan bagian dari Rimpang Nusantara 2019 (Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat).

Participant
Ivonne Kani

Ivonne Kani merupakan seorang seniman audiovisual dari Tangerang, Banten. Film dokumenternya, Generasi Sekian (2015), telah diputar di Festival Film Dokumenter dan Arkipel-Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. Ivonne merupakan bagian dari Asana Bina Seni 2023, program Yayasan Biennale Yogyakarta. Karya instalasi Ivonne, Pindahin!, merefleksikan pemindahan IKN ke Nusantara menjadi bagian dari pameran Indonesian Contemporary Art and Design 2023. Ivonne juga sedang mengerjakan proyek dokumenter panjangnya, Me, My Mother’s Favorite Monkey, yang juga menjadi bagian dari lokakarya Opentable 2023 yang diadakan oleh In-Docs.

Fo Ran, Stone, and the Three Acts of Ghosts from the Past

Engel adalah seseorang yang mencari jawaban atas pertanyaan dari tiga babak masa lalunya: kehilangan, perpisahan, dan keterasingan, di mana semua itu dimulai dari persebaran rumpun suku Tetun, kerajaan Fehalaran, referendum 1999: Indonesia – Timor Leste, serta hilangnya seorang kakek pada tahun 1965. Melalui Fo Ran, batu-batu, dan Kidung Ibu, Engel mencari jawaban atas pertanyaan dari masa lalu.

 

SYNOPSIS

Engel adalah pemuda berdarah Tetun yang melakukan penelusuran terhadap tiga peristiwa dan waktu dari masa lalu yang menghantuinya selama ini. Babak pertama dimulai dengan kisah tentang perang dan perpisahan yang menyebabkan tersebarnya rumpun suku Tetun dari kerajaan Fehalaran. Sejarah tentang pertarungan, penaklukan, dan perpindahan yang terjadi semenjak Indonesia belum bersatu.

 

Babak kedua adalah peristiwa referendum 1999 yang membelah rumpun suku Tetun menjadi berada di dua negara: Indonesia dan Timor Leste. Dahulu, suku Tetun berdoa pada satu upacara di satu bukit yang sama yaitu Foho Matebian. Namun, kini mereka terpisah dan berdoa melalui angin.

 

Babak ketiga datang dari peristiwa saat Engel menerima kenyataan tentang kakeknya yang menghilang pasca-meletusnya tragedi nasional pembantaian simpatisan atau yang tertuduh simpatisan komunisme 1965. Kubur dan jasadnya tak pernah ditemukan. Namun, 20 tahun kemudian ibunya memberikan isyarat padanya, bahwa sang kakek berada pada tanah yang datar, tanpa nisan dan nama.

 

Engel melakukan perjalanan bersama Fo Ran, makhluk pendamping yang ia yakini sebagai leluhur yang menuntunnya mencari jawaban dari atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini. perjalanan ini membelah sepanjang Belu sampai ke Timor Leste. Engel akan membawa tiga batu sepanjang perjalanan, kemudian meletakkannya sebagai penanda.

 

“Aku membangun monumen pada tiga batu atas lanskap hantu-hantu masa lalu dan menunggu jawaban atas janji-janji masa lalu dan masa depan.” Batu batu tak bernama dan hanya titik koordinat sebagai pengenalnya, ia melayang-layang melintasi zaman dan potret masa kecil yang memudar.